Kamis, 04 Oktober 2012

Batik

BUTUH INOVATOR GUNA MENJADIKAN BATIK SEBAGAI ICON DOMESTIK

Beberapa tahun lalu batik dianggap sebagai pakaian pinggiran yang dilihat sebelah mata oleh sebagian masyarakat kita. Namun belakangan batik bisa menjadi kebanggaan masyarakat Indonesia setelah adanya kepedulian pemerintah dengan dijadikannya pakaian batik sebagai salah satu pakaian dinas yang wajib digunakan pada hari-hari tertentu mulai tingkat pusat, provinsi, dan kabupaten/kota. Kebijakan pemerintah ini tentunya membawa angin segar bagi pelaku usaha batik khususnya industri batik dalam negeri karena seringkali mendapat respon positif dalam setiap moment-moment penting seperti kegiatan pameran khusus batik, pestival batik, modeling dan beberapa kegiatan lain yang mendukung. Terlebih setelah adanya pengakuan dari organisasi kebudayaan dunia yaitu UNESCO sebuah badan organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa yang mengakui bahwa batik sebagai asli produk bangsa Indonesia. Suatu hal yang patut disukuri dan dijadikan pemicu untuk meningkatkan kualitas batik sebagai icon produk domestik. Namun seiring dengan persaingan usaha ditingkat dunia dengan dibukanya kran AFTA dan ACFTA maka batik produk domestik harus berhadapan dengan produk impor khususnya dari negeri Tirai Bambu (Cina) dimana harganya jauh lebih murah bila dibandingkan dengan produk lokal. Kalau produk lokal dijual antara Rp 60.000 - Rp 90.000 sementara produk Tiongkok hanya Rp 35.000 - 45.000. Mahalnya produk batik lokal dikarenakan membutuhkan waktu yang cukup lama, tenaga kerja dan kemampuan berinovasi dan berkreativitas khususnya kalangan home industri yang tentunya masih perlu pembinaan dan motivasi oleh lembaga yang kompeten. Apabila home industri tidak memiliki inovator dan kreator dalam rangka menciptakan model-model kontempores tentu akan selalu ketinggalan dan mendapat persaingan produk impor yang lebih menarik. Semoga eksistensi industri batik yang masih kecil dapat merubah pola kerja dengan menumbuhkan para inovator dan kreator yang muncul dari berbagai kalangan termasuk dari unsur perguruan tinggi, sekolah-sekolah kejuruan khusus yang dapat mendorong tumbuhnya industri perbatikan dinegeri ini. Di Wonosobo sendiri misalnya dengan batik Talunombo Kecamatan Sapuran tentunya perlu mendapat motivasi agar bisa lebih berkembang dari segi inovasi dan kreasinya maupun dari segi kualitasnya agar tetap eksis dan tidak tergempur oleh produk impor. Ini tentunya masyarakat sendiri untuk peduli terhadap produk lokal agar usaha mereka dapat berkembang yaitu salah satu caranya dengan memakai batik produk lokal.
(Drs. Oman Yanto, MM : Kasi Distribusi dan Perlindungan Konsumen Bidang Perdagangan).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima Kasih sudah mengunjungi blog kami
Silahkan tinggalkan pesan Anda